Sebuah tulisan dari mahasiswa dengan IPK pas-pasan dan prestasi sederhana yang mencoba berkicau tentang topik yang disukasinya #pendidikan
Ini hanya ulasan sederhana, tentu sangat banyak kekurangan, masih dangkal dan butuh revisi beberapa kali
Alahan Panjang, 21-01-2014 Jam 9.47 PM
Sistem pendidikan Indonesia yang saya diagnosanya dengan istilah “Abses Kronis Generalisata” entah istilah ini pernah ada atau tidak didunia medis. Istilah abses kronis generalisata ini berarti permasalahan ini tidak tersadari, sudah busuk saja ketahuan. Berlansung lama alias kronis dan menyebar secara keseluruh kesetiap segmen alias generalisata. (maaf maksa banget istilahnya). Kenapa dikatakan seperti ini. Akhir-akhir ini kita dicengangkan dengan sikap pelajar yang makin kurang ajar. Makin tidak tau tata krama. Makin tidak punya tujuan hidup. Makin pemalas dan selalu bersenang-senang. Tanpa disadari bahwa proses perubahan tingkahlaku dan pola pikir pendidikan akibat sesuatu yang sudah salah bertahun-tahun, terdistribusi merata dimanapun dan hasilnya mulai terlihat sekarang.
Sebenarnya apa sih yang salah disistem pendidikan kita ? ini hasil mini-anailisis saya :
1. KurikulumKurikulum yang telah dibuat dan diupgrade berkali-kali adalah sumber utama kacaunya sistem pendidikan kita. Apa yang akan terjadi didalam sebuah proses pendidikan kekinian pasti akan mengacu pada kurikulum kekinian juga, ketika kurikulumnya keteteran, tidak merata, hanya mementingkan satu pihak, maka pelaksanaan dilapangan juga akan begitu.Kurikulum sering sekali ‘galau’, Sering sekali tarik ulur dan sering sekali PHP. Update-an kurikulum sekali berapa ya ? padahal seharusnya, idealnya, setiap update-an kurikulum merupakan revisi dan perbaikan dari kurikulum sebelumnya. Walau niatnya begitu tapi nyatanya malah makin membuat bingung tenaga didik yang akan menjalankan kurikulum ini. Contoh kecilnya tentang salah tempatnya pelajaran dan ketidak relevanan dengan kelas peserta didik. Seperti pelajaran yang biasanya ditemui dibuku SMP sekarang sudah merajalela di lingkungan SD. Katanya kan biar keren gitu anak SD sudah belajar yang beginian, tapi ya kalau belum sesuai umur, hanya jadi ‘ota lapau’ saja bagi anak SD tersebut. Belum lagi isi kurikulum yang masih kelinci percobaan dan sarat mengandung unsur politik kotor.
2. PemerintahBerapa sih dana buat pendidikan ? minim banget, banget, banget. Beasiswa minim, support minim, dan many more, walau baru-baru ini katanya bisa masuk 50 universitas terbaik dunia, digratiskan, tapi aduh, berapa banyak sih masyarakat Indonesia yang masuk sana. Kalau memang ingin membantu jangan tanggung-tanggung, bantu semua yang sungguh-sungguh ingin sekolah dimana saja, ya bisa diadakan seleksi khusus tapi jangan ada unsur KKNnya biar adil.
- Pemerintah seperti ada kurang niat untuk memberikan pendidikan yang sifatnya adil merata. Hal ini terbukti masih ada saja sekolah yang aksesnya saja sulit, gurunya sedikit, dan buku penunjangnya tidak ada padahal ini sudah 2014. Dimana-mana sama, sekolah yang dekat lokasi dengan ibukota/ kabupaten akan sangat mengkilap, mentereng, semakin jauh ? semakin miris.
- · Aduh politik kerap kali bermain disini. Siapa yang dekat dengan pemangku jabatan saat ini bisa sekejap mata menduduki kepala A, B dan C disektor pendidikan padahal punya basic juga tidak. Apa yang akan dikerjakan nanti kalau hanya berbekal ‘backbone’ (tulang belakang). jangan tanya saya bagaimana kebijakan yang akan dibuatnya apakah relevan dengan pendidikan atau tidak
- · Tidak ada penghargaan bagi si penuntut ilmu. Pernah dengar sekaliber profesor hidupnya masih susah ? Terbatas dari segi penghasilan, terbatas dengan apa yang akan dikontribusikannya karena pemerintah tidak menghargai dan kurang memfasilitasi hasil proses pendidikan para profesor. Heran sekali ketika kita masih saja mengimpor sesuatu yang jelas-jelas bahan mentahnya dari Indonesia, padahal profesor dibidang itu sangat banyak. Jawaban sederhananya, pemerintah tidak mau repot mengurusi hal itu. Yang penting barang jadi ada, dipakai ngak perlu repot lah.
Sangat tidak arif untuk membadingkan Indonesia dengan jepang, tapi apa boleh buat, dijepang dengar-dengarnya satu profesor disediakan satu lab penelitian atau satu rumah mewah yang isinya full teknologi guna mendukung temuan baru si profesor. Indonesia ? #jangan tanya saya.
3. Tenaga PendidikTenaga pendidik adalah pahlwan tanpa tanda jasa, benar ? Saya lahir dan dibesarkan dari gaji seorang tenaga pendidik. Namun seorang tenaga pendidik hendaknya mengerti situasi-kondisi, psikologi dan kebermanfaatan yang diajarkan. Bukan sedikit tenaga pendidik yang tidak memperhatikan sikon / atmoshpere kelas. Tidak memperhatikan psikologi anak didik yang ternyata berbeda-beda, main hantam saja. Sehingga jangan heran banyak siswa yang justru membenci pelajaran karena membenci pengajarnya. Nah kok malah benci ilmunya gara-gara yang menyampaikan yang tidak disuka. Akhirnya dan akhirnya ya begitulah, banyak yang jadinya tidak paham urgensi belajar hanya karena duluan ‘trauma’.
Ingat film taree zameen par yang ternyata tokoh utamanya dyslexia. Susah belajar, yang terbuang dari sekolah lamanya karena dianggap bodoh, nakal, dan pemalas. Terpaksa diantar kesekolah khusus dan disana bertemu dengan aamir khan. Aamir khan merubah hidupnya, membangun lagi kepercayaan dirinya yang telah runtuh dan kembali mengeluarkan bakat utamanya 'MELUKIS' yang akhirnya membuat dia diterima banyak pihak bahkan dielu-elukan dan ihsan (tokoh utama) kembali mendapatkan kepercayaan dirinya. Siapakah yang berperan disana ? guru, bahkan ketika orang tua sudah menyerah akhirnya gurulah yang merubah hidup si Anak. Ketika guru memahami psikologi dan kertebatasan anak didik maka proses pembelajaran itu akan berlansung dengan baik. Anak akan merasa dihargai dan dimengerti karena belajar dengan sistem yang dia bisa dan dia mau.Sistem penilaian utama adalah bersifat hafalan ? Coba sebutkan berapa banyak pelajaran yang terasa aplikasinya ketika SD, SMP, SMA ? hanya bisa dihitung jari, sisanya kita harus mengahafal. Padahal semua pelajaran dapat dipraktekan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Praktek tidak hanya milik jurusan IPA saja walaupun sekarang jam pratikum dipangkas atau bahkan dihilangkan hanya untuk mengejar materi yang seabrek yang nantinya selesai ujian akan menguap dari kepala tapi juga milik jurusan IPS. Siapa yang membayangkan bahwa pelajaran sosiologi dan kewarganegaraan tentang tata krama dapat dibuatkan semacam mini drama yang nantinya sama-sama memberikan hikmah kepenonton, oh jadi etika yang baik itu seperti ini. Nah disinilah kreatifitas dan proses mengenal lingkungan tenaga didik itu diuji. Bahwa sipembelajar (siswa) memiliki usia yang berbeda, dengan sifat dan pemahaman yang beda.
4. Mindset MasyarakatMindset masyarakat yang mengkultuskan beberapa jurusan / kampus yang katanya favorit. Sehingga berlomba-lombalah masyarakat untuk bisa masuk dijurusan / kampus favorit. Tidak diterima dijurusan / kampus favorit bagaimana ? merasa minder, merasa tidak mampu. Padahal tidak ada kampus / jurusan yang terbaik, karena setiap jurusan memiliki kerumitan, kesusahan dan keunggulan sendiri. Nah mindset inilah yang menyebabkan banyak anak yang berada diketidak favoritan memilih menjadi apatis karena merasa kalah bersaing dengan yang favorit. Sekali lagi tidak ada istilah favorit semuanya akan sama-sama bekerja atau bahkan membuat pekerjaan kalau semuanya sama-sama menikmati proses pendidikan masing-masing, menggali skill dan keunikan di jurusan masing-masing.Kenapa sistem pendidikan Australia maju ? jadi begini, ketika ada seminar dan ‘open house’ dari sebuah lembaga konsultasi sekolah luar negeri. Ketika itu bagian negara Australia. Saya berceletuk “mbak yang paling keren, monash atau melbourne university ya mbak?”(soalnya saya yang tau hanya ini) “hmm, ngak juga, di Australia tidak ada istilah rangking, jadi setiap universitas memiliki keunikan dan daya jual tersendiri, mereka sama-sama mengembangkan universitas masing-masing melalui pola didik masing-masing” ya setiap universitas harus punya kekhasan dan daya jual masing-masing.
Jadilah apa yang diingikan. Kamu bebas untuk menjadi apa saja, masuk apa saja, tapi dengan satu komitmen mau bekerja keras dan memiliki skill khusus, insya Allah akan terpakai juga jangan khawatir. Bagi yang ingin SNMPTN pililah jurusan yang sesuai dengan minat dan kemampuan. Setiap orang unik dan setiap orang memiliki kelebihan masing-masing yang harus di'lestarikan'.
5. Mindset SiswaMindset siswa kesekolah adalah mencari nilai, tidak peduli nilai didapat dari hasil mencontek, yang penting saya bernilai tinggi dan bisa lulus. Hanya sebatas itu saja “lulus”. Kemudian kebingunan setelah lulus mau kemana, karena sewaktu sekolah hanya menikmati nilai tidak proses, tidak berusaha menambah skill dan pengetahuan tapi hanya menambah pajangan nilai. Mottonya : Belajar malas bisa sukses dan bisa kaya. Bukan berarti saya tidak menyarankan mendapat nilai tinggi. justru harus, tapi dengan cara yang halal nan thoyib. Saya pribadi sangat kagum kepada teman-teman yang mempunyai nilai akademis luar biasa namun diperoleh dengan cara yang benar dan mereka tau untuk apa mereka belajar.6. LingkunganJangan tanya saya kapan sistem pendidikan Indonesia akan maju, tapi tanya pada KPI, kapan KPI akan tegas mengatur masalah tayangan “bermutu dan tidak bermutu”. Ketika TV-Education dihidupkan, digembar-gemborkan dan didanai lagi. Ketika tayangan sinteron galau yang mengumbar kisah cinta, kisah hidup bahagia tanpa usaha dihilangkan. Ketika tayangan berita fitnah dan gosip-gosip dibatasi. Nah televisi ini baru contoh kecilnya belum lagi lingkungan sekitar tempat tinggal yang sangat mempengaruhi si pembelajar. Kita mendidik manusia. Manusia yang hatinya mudah berubah. Fikirannya cepat berpindah, maka buatlah lingkungan yang baik, agar menjadi baik dalam pembelajaran yang baik.
Negara yang bagus itu berasal dari SDM yang bagus dan tentunya SDM yang bagus hanya dapat diciptakan dari sistem pendidikan yang bagus juga. Mari sama merubah sistem pendidikan Indonesia, mulai dari diri sendiri dan orang lain. Jangan hanya bisa komentar miring soal Indonesia, tapi saatnya beraksi nyata
0 komentar:
Posting Komentar