“A : Kita parkir disana yuk ?B : Ngak ah, di motor ada stiker fakultas, ngak enak, ntar jelek lagi nama fakultas dan universitas kitaA : segitunya B : soalnya kalau bukan mahasiswanya yang menjaga nama baik kampusnya, siapa lagi ?
Ilustrasi diatas hanyalah perumpamaan bagaimana peran penting mahasiswa selaku oknum terbanyak dikampusnya untuk menjaga nama kampus masing-masing. Tentunya hal diatas baru akan muncul ketika kita mulai mencintai almamater kita masing-masing. Agar cinta tidak bertepuk sebelah tangan, tentunya kampus harus bisa jelimet juga melihat kebutuhan mahasiswa termasuk masalah apresiasi kepada mahasiswa. Saya sangat ingat sebuah percakapan disalah satu jejaring sosial. Teman saya yang berasal dari suatu Universitas harus "ngamuk" dulu agar kampusnya mengapresiasi setiap prestasi yang diraih oleh mahasiswanya dan amukannya berhasil membuat Universitas tersebut lebih mengapresiasi mahasiswanya.
Masalah apresiasi terhadap mahasiswa ini tidak hanya sekedar keren-kerenan semata, idealnya setiap kampus mesti seperti itu, sekecil apapun prestasinya, harus diapresiasi yang bisa menjadi motivasi untuk orang lain dan sipembuat prestasi untuk lebih bersemangat melebarkan sayap prestasinya. (Status FB saya beberapa saat yang lalu tentang apresiasi)
Sumber : |
Huft.
Lagi-lagi masalah apresiasi. Sebagai
manusia biasa. Kebanyakan kita inginnya selalu diapresiasi – apapun tindakannya.
Wajar saja – tidak ada yang ingin kerja nya sia-sia apalagi tidak dianggap
(kadang sakitnya itu memang disini ya).
Topik apresiasi ini muncul setelah ‘maota lamak’ tentang Indonesia
dengan teman rumah penuh ukhuwah a.k.a wisma. Indonesia ? dengan segala
kelebihan sumber daya alam – kelebihan potensi sumber daya manusia. Tentu saja
juga dengan segala kelebihan permasalahan yang “unik, buat pusing dan butuh
penyelesaian segera !”.
Indonesia tanah air beta – tempat kita semua
mungkin dilahirkan – dibesarkan hingga meninggal dunia. Air – tanah – api –
udara (bukan avatar) sudah menyatu dan
menjadi jiwa sendiri bagi kita. Ritme kehidupan yang bergulir – alur cerita
yang unik membuat kita bagaimanapun akan tetap ingin Indonesia lebih baik.
Sumber : |
Kami
awalnya berbicara masalah kesehatan. Mengenai mahalnya pembiayaan perawatan gigi dan mulut. Mengenai tidak masuk
asuransinya kebanyakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Gigi dan mulut
dianggap mahal dan bersifat kosmetik tapi lucunya setiap survey kesehatan 3
tahunan tetap saja gigi dan mulut masuk
top 5 penyakit terbanyak dengan angka kesakitan >50% penduduk Indonesia.
LUCU. Lucu saja tiap 3 tahun survey - saya
perhatikan hasil Survey Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) yang dikeluarkan pemerintah untuk penyakit gigi dan mulut tidak
ada perubahan yang signifikan ya masih top 5 atau kadang-kadang turun peringkat
ke top 10.
Kalau
kita ingin berkisah salah satu penyebab tidak diasuransikannya kesehatan gigi
dan mulut adalah mahalnya tarif yang ditetapkan dan harus dibayar oleh penyedia
jasa asuransi. Baiklah untuk masalah mahal saya memang angkat tangan. Bahan dan
alat di kedokteran gigi tidak ada yang murah, bahkan wax (lilin) yang terlihat
sepele harganya 6.000 – semenjak kenaikan BBM sudah jadi 8.000 – kalau kita
konversikan 8 ribu bisa dapat 1 potong sambal
dirumah makan padang idaman anda.
Saya sempat mengeluarkan pernyataan.
Bagaimana kalau pemerintah / penyedia asuransi atau apalah namanya bukan
mensubsidi per satu pelayanan tapi
mensubsidi alat dan bahan yang dipakai dokter gigi. Walaupun konsep asuransi
pada dasarnya memakai sistem kapita yang dokternya dibayar berdasarkan jumlah
kapita penduduk yang menjadi tanggungan “sakit – tidak sakit”. Namun tetap saja
konsep seperti ini ‘menurut saya’ tidak merubah harga alat dan bahan yang pada
dasarnya mahal dan tentu saja tarif yang ditetapkan MAHAL. Salah satu yang menjadi penyebab mahalnya alat dan bahan di
KG karena selain barangnya semua import – made in germany – made in swiss –
made in USA – made in UK – made in Indonesia kapan??? juga pajak yang ditetapkan
ke alat-alat ini lebih tinggi dari barang lain. Sudahlah harga dari asalnya
mahal ditambah pajak yang tidak murah maka sukseslah membuat nilai barang
tersebut menjadi MAHAL.
sumber : warungdental.com |
Kalau
saja dapat berandai-andai. Pemerintah mau mensubsidi lebih alat dan bahan yang
dipakai – (1) mulai dari penyediaan alat
dan bahan seperti pembelian dalam jumlah banyak atas nama negara Indonesia
tentu akan berbeda harganya dari pembelian jumlah tertentu atas nama
distributor alat Kedokteran Gigi – (2) pengaturan
pajak, karena barang-barang tersebut toh memang dibutuhkan rakyat (buktinya
hasil survey kesehatan- masyarakat masih mengeluhkan hal yang sama
bertahun-tahun lamanya) maka pajak yang ditetapkan idealnya tidak begitu tinggi
(tapi entahlah saya tidak tau persis prosedur penetapan angka pajak) dan (3) pengaturan
nilai jual di Indonesia. Maka bukan tidak mungkin harga pelayanan kesehatan
gigi dan mulut bisa ‘bersahabat’ dikantong masyarakat menengah – kebawah. Ya tapi
kalau pola fikirnya seperti ini : tidak bisa seperti itu - akan banyak pihak
yang berkepentingan yang akan rugi disana – tidak bisa seperti itu – kalau pola
pikir kita seperti itu – ya sudahlah – tu
ka baa lai ? tu ka dipangaan lai ?
Setelah saya mengutarakan hal
demikian. Teman saya bercerita bahwa dahulunya sudah ada ide-ide pembuatan alat
kedokteran gigi yang ‘made in Indonesia’. Sudah ada konsep lengkap – ketika akan
direalisasikan terkendala dana dan kebiasaan kita kan CUMA bisa ‘apresiasi’ “wah hebat ya” “selamat ya, kamu memang luar
biasa” tanpa adanya feedback positif. Dengan berat hati ide dan konsep tersebut dijual
ke “germany” dan siap-siap saja beberapa
tahun kedepan produk tersebut masuk ke Indonesia dengan harga jual yang lebih
mahal. Kalau saya jadi orang tersebut maka saya juga akan menjual ide tersebut
ke negara luar yang jelas-jelas mempunyai feedback
positif. Mau mewujudkan ide yang kita punya dan memberikan keuntungan apakah
itu berupa materil atau non materil. Itu manusiawi. Nah sebenarnya Indonesia bukan masalah kekurangan SDM untuk
memajukan negara ini tapi tidak adanya apresiasI. Bagi saya apresiasi bukan
tentang “wah selamat ya” “kamu memang membanggakan Indonesia” tapi adanya feedback yang membuat orang tersebut
terus dapat bertahan dan mengembangkan potensi yang dimiliki apakah dalam
bentuk dana atau penyediaan akses dalam melakukan kegiatan.
Sumber : antara.com |
Saya ingat dengan pernyataan seorang
doktor lulusan luar negeri yang sempat harus beradaptasi lagi dengan kebiasaan
di Indonesia karena sudah ‘keasyikan’ diluar negeri. Diluar negeri riset-riset
dihargai dan ada feedback setelah ini
mau dikemanakan. Mau dibuat model apa, dipasarkan atau dipatenkan atau apalah. Di
Indonesia –riset ada, bantuan untuk riset ada tapi setelah ini mau dikemanakan
tidak tau. Bagi periset yang ‘cerdas’ mungkin akan menjualnya keluar. Bagi yang tidak ya palingan hasil penelitian
paling keras tembus jurnal internasional sesuai dengan bidang ilmu
masing-masing. Setelah itu ? bagi yang
ingin melanjutkan –lanjut. Yang tidak ? say
goodbye dan jadi cerita ke anak cucu saja bahwa dahulu saya pernah melakukan
ini – itu dan ini – itu.
sumber : |
Menurut saya kata-kata doktor diatas
tepat sekali. Siapa disini yang suka
mengkonsumsi makanan nutrisi yang katanya membernya puluhan negara ?
harganya tidak murah bukan ? itu adalah hasil riset yang dikembangkan dengan
baik – penjualan tinggi dengan rating yang juga tinggi maka secara otomatis
juga ada pemasukan bagi negara
penghasil. Saya tidak akan sok-sok an disini berbicara mengenai hal diatas. Toh
saya belum ada penghasilkan apa-apa. Hanya butiran debu bagi orang luar biasa yang tersebar diseluruh penjuru dunia. Namun disini hanya ingin menyuarakan - kita
semua ingin Indonesia maju namun apresiasi terhadap hal-hal semacam itu masih
sangat-sangat-sangat-sangat KURANG. Apresiasi bukan hanya masalah “wah selamat
ya” tapi apa feedback kedepan. Mari
kita mulai dari hal yang paling kecil seperti organisasi kampus misalnya
kemudian beranjak ke tingkat universitas, serta beranjak membicarakan bangsa
dan negara ini.
Padang
: 16-12-2014
pukul : 3.00 AM
0 komentar:
Posting Komentar